Aug 21, 2010

ruangan

kudapatkan dari blog stephanie zen dan aku ingin berbagi dengan kalian...
Kemarin baca cerita ini di buku I Kiss Dating Goodbye yang ditulis oleh Joshua Harris, dan langsung mewek semewek-meweknya. Cerita ini tentang mimpi yang suatu kali dialaminya. I’m so glad to share this story with you (jangan lupa siapin tissue :p). Cekidot!

Antara sadar dan tidak, saya menemukan diri saya di sebuah ruangan. Tidak ada ciri-ciri yang membedakan kecuali sebuah tembok yang ditutupi dengan arsip-arsip berisi kartu-kartu indeks kecil.

Kartu-kartu tersebut seperti yang ada di perpustakaan, berisi judul buku berdasarkan nama pengarang atau tema dalam urutan abjad. Tetapi arsip-arsip tersebut yang terbentang dari lantai sampai langit-pangit dan tampaknya tak berakhir dari segala arah, memiliki judul-judul yang sangat berbeda. Ketika saya mendekati tembok arsip tersebut, arsip pertama yang menarik perhatian saya adalah arsip yang berjudul “Gadis-gadis yang pernah aku sukai”. Saya membukanya dan mulai membolak-balik kartu-kartu tersebut. Saya cepat-cepat menutup kartu itu, terkejut karena menyadari bahwa saya mengenal nama-nama yang tertulis pada tiap kartu tersebut.

Dan kemudian tanpa diberi tahu, saya tahu persis di mana saya berada. Ruangan tanpa kehidupan dengan arsip-arsip kecilnya adalah sebuah sistem katalog sederhana dari kehidupan saya. Di sana tertulis setiap tindakan saya setiap saat, baik besar maupun ekcil, dalam rincian yang tidak dapat ditandingi dengan daya ingat saya.

Suatu perasaan kagum dan ingin tahu, disertai dengan ketakutan yang berkecamuk di dalam diri saya ketika saya mulai membuka arsip-arsip itu secara acak dan menyelidiki isinya. Beberapa membawa kenangan manis dan sukacita; yang lain memalukan dan saya sesali sehingga saya akan melihat arsip bertuliskan “Teman-teman” bersebelahan dengan arsip berjudul “Teman-teman yang telah kukhianati”.
Judul arsip-arsip tersebut bervariasi mulai dari yang biasa sampai yang aneh sama sekali: “Buku-buku yang pernah aku baca”, “Kebohongan-kebohongan yang pernah aku buat”, “Penghiburan yang pernah kuberikan”, “Lelucon-lelucon yang pernah kutertawakan”. Beberapa sangat tepat: “Cemoohan yang pernah kusampaikan pada saudara-saudaraku”. Yang lain yang tidak dapat saya tertawakan: “Hal-hal yang telah kulakukan dalam kemarahan”, “Gerutuan yang pernah kusampaikan pada orangtuaku”. Saya tidak pernah tidak terkejut melihat isinya. Seringkali ada lebih banyak kartu daripada yang saya perkirakan. Kadangkala ada lebih sedikit kartu dari yang saya harapkan.

Saya diliputi oleh volume kehidupan yang telah saya jalani. Mungkinkah saya memiliki waktu di usia saya yang 20 tahun ini untuk menuliskan tiap-tiap kartu yang jumlahnya bisa ribuan, bahkan jutaan ini? Tetapi setiap kartu menegaskan kebenaran ini. Masing-masing kartu bertuliskan tandatangan saya sendiri. Dan setiap kartu saya tandatangani.

Ketika saya menarik sebuah arsip berjudul “Lagu-lagu yang pernah kudengar” saya menyadari bahwa arsip-arsip tersebut bertambah untuk menampung isinya. Kartu-kartu itu dipak secara ketat, namun setelah dua atau tiga kartu, saya tidak dapat menemukan akhir dari arsip tersebut. Saya menutupnya dengan perasaan malu, bukan karena kualitas musik, tetapi lebih karena banyaknya waktu yang diwakili oleh arsip tersebut.

Ketika saya sampai pada sebuah arsip berjudul “Pemikiran-pemikiran yang didorong oleh hawa nafsu”, saya merasakan tubuh saya dingin. Saya menarik keluar arsip itu hanya satu inci, tidak berminat untuk menyelidiki besarnya, dan menarik sebuah kartu. Saya merasa jijik melihat isinya secara terperinci. Saya kesal memikirkan bahwa saat seperti ini juga tercatat.

Tiba-tiba saya merasakan suatu kemarahan seperti seekor binatang. Satu pikiran mendominasi otak saya: “Tidak ada seorang pun yang boleh melihat kartu-kartu ini! Tidak ada satu pun orang yang akan pernah melihat ruangan ini! Aku harus menghancurkan semuanya!” Dengan pikiran kalang kabut itu saya merenggut keluar arsip tersebut. Sekarang ukurannya tidak menjadi masalah. Saya harus mengosongkannya dan membakar kartu-kartu tersebut. Tetapi ketika saya mengambil arsip itu dan memukul-mukulkannya ke lantai, saya tidak dapat mencabut satu kartu pun. Saya menjadi putus asa dan menarik keluar sebuah kartu, hanya untuk menemukan bahwa kartu itu sekuat baja ketika saya berusaha untuk merobeknya.

Merasa kalah dan benar-benar putus ada, saya mengembalikan arsip itu ke tempatnya. Sambil menyandarkan dahi saya ke tembok, saya mengeluarkan keluhan panjang mengasihani diri sendiri. Dan kemudian saya melihat sebuah arsip lain. Judul arsip itu adalah “Orang-orang yang pernah saya ceritakan tentang Injil”. Pegangannya lebih terang daripada yang ada di dekatnya, lebih baru, hampir tidak pernah digunakan. Saya menarik pegangan itu dan sebuah kotak kecil yang tidak lebih dari delapan sentimeter panjangnya jatuh ke dalam tangan saya. Saya bisa menghitung kartu-kartu yang ada di sebelah tangan saya.

Dan kemudian air mata pun mengalir. Saya mulai menangis. Saya terisak begitu hebat sampai rasa sakitnya terasa di perut saya dan mengguncangkan saya. Saya jatuh berlutut dan menangis. Saya berteriak karena malu, sangat malu. Baris-baris rak arsip itu berputar-putar dalam pandangan saya yang dipenuhi air mata. Tidak ada satu orangpun yang boleh mengetahui ruangan ini. Saya harus menguncinya dan menyembunyikan kuncinya.

Tetapi kemudian saat saya menyeka air mata saya, saya melihat Dia.
Tidak, tolong, jangan Dia. Tidak di sini. Siapa pun boleh kecuali Yesus.

Saya memperhatikan dengan pasrah ketika Ia mulai membuka arsip-arsip dan membaca kartu-kartu di dalamnya. Saya tidak tahan melihat respons-Nya. Dan di saat saya memberanikan diri memandang wajah-Nya, saya melihat suatu kesedihan yang lebih dalam daripada kesedihan saya. Seperti dibimbing oleh intuisi-Nya Ia berjalan menuju kotak-kotak yang paling buruk. Mengapa Ia harus membaca setiap arsip?

Akhirnya Ia berpaling dan memandang saya dari seberang ruangan. Ia memandang saya dengan belas kasihan di mata-Nya. Tetapi bukan kemarahan. Saya menjatuhkan kepala saya, menutupi muka saya dengan tangan, dan mulai menangis lagi. Ia menghampiri saya dan merangkul saya. Bisa saja Ia mengatakan begitu banyak hal. Tetapi Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menangis bersama saya.

Kemudian Ia bangkit dan berjalan kembali ke dinding arsip tersebut. Dimulai dari ujung ruangan yang satu, Ia mengeluarkan sebuah arsip dan satu demi satu, Ia mulai menuliskan nama-Nya di atas nama saya pada setiap kartu.

“Tidak!” saya berteriak, buru-buru menghampiri Dia. Yang dapat saya katakan hanyalah, “Tidak, tidak,” ketika saya menarik kartu dari-Nya. Nama-Nya tidak seharusnya ada di kartu-kartu ini. Tetapi nama itu telah tertera, ditulis dengan begitu nyata dan jelas dengan tinta merah. Nama Yesus menutupi nama saya. Nama itu ditulis dengan darah-Nya.

Dengan lembut Ia mengembalikan kartu itu. Ia memberikan senyum kesedihan dan melanjutkan untuk menandatangani kartu-kartu itu. Saya tidak akan pernah mengerti bagaimana Ia dapat melakukannya secepat itu. Tetapi hal cepat berikutnya adalah saya mendengar Ia sudah berada di arsip terakhir dan kembali ke sisi saya. Ia meletakkan tangan-Nya ke atas pundak saya dan berkata, “Sudah selesai.”

Saya berdiri, dan Ia menuntun saya keluar dari ruangan. Tidak ada kunci pada pintu itu. Masih ada kartu-kartu yang akan ditulis.

PS: Sangat melegakan untuk tahu bahwa semua harga dosa yang tertulis dalam “arsip” kehidupan kita telah dibayar lunas oleh-Nya ya :)


ceritanya keren.. gue di sini di sadarkan bahwa di dalam diri kita ada suatu ruangan yang menyimpan banyak arsip yang kita sendiri pun tidak tahu kadang kita tidak ingat akan kejadian itu. di dalam arsip itu mencatat detail apa yang kita lakukan baik itu perbuatan yang benar dan yang salah.
Tuhan mengetahui semua seluk-beluk kita dan tetap mau menebus semuanya tanpa terkecuali karena Ia sayang pada kita. Janganlah lupa itu!
God bless you...


No comments: